Pages

Senin, 02 Maret 2015

Sungai Kesedihan dan Negeri Atas Awan (cerpen karya Kristiawan Balasa)


 Dimuat di Pontianak Post edisi 10 Agustus 2014
Di kota kami mengalir sungai kesedihan, kata orang ia lahir dari air mata hujan. Sebentar, bukankah hujan adalah air, air mata dari air? Apakah seperti manusia yang melahirkan manusia? Ah, kata-kata orang memang seringkali buat pening kepala.

Sampai kini pun aku masih kurang paham akan nama sungai kesedihan. Mungkin air mata hujan yang dimaksud adalah tangis makhluk-makhluk khayangan. Bidadari dan malaikat yang sedang dihampiri duka, menangis sejadijadinya hingga mengaliri sungai kota kami. Tapi, duka seperti apa yang singgah di hati mereka sampai semua ini terjadi?

Pertanyaanku terjawab di suatu sore yang ramah, ketika arus sungai kesedihan itu mulai mengombang-ambingkan hati, kakek bercerita padaku, tentang negeri  di atas awan.

“Negeri itu ada di lapis langit ketujuh, namanya negeri keringkerontang. Bukan mata air yang menjadi asal-usul namanya, melainkan air mata.”

Aku memerhatikan cerita kakek dengan seksama, tak satu kata pun melompat dari mulutku. Kakek memang senang mendongeng. Sejak ibuku meninggal, sepuluh tahun lalu, ia yang mengambil peran itu. Seringnya, kakek mendongeng tiba-tiba. Seperti saat sekarang ini, ketika aku sedang duduk di bantaran sungai kesedihan. Ingin menentramkan diri karena patah hati. Entah dari mana ia datang, saat aku memalingkan wajah, ia sudah ada di sebelah.

“Di sana, cinta adalah sesuatu yang langka. Sudah berabad-abad penghuninya hidup dalam hampa.” Mendengar itu, aku merasa dibikin mengambang. Tahu benar kakekku akan apa yang dirasakan cucunya sekarang. Padahal, walau duduk di tepi sungai ini, aku sedang tidak meratap. Setidaknya, itu yang otakku bilang. Atau jangan-jangan, wajahku yang berkata demikian.

“Penghuninya terlalu sibuk mengurusi cinta orang-orang bumi, sehingga cintanya sendiri mereka abaikan,” kakek melanjutkan ceritanya dengan terbatuk.

“Benar malaikat dan bidadari?” tanyaku penasaran. Untuk sementara, dukaku terkubur cerita kakek.

“Kau sudah tahu rupanya,” jawab kakek sambil menggaruk siku kanannya.

Ternyata, dugaanku benar, tapi aku masih kurang mengerti bagaimana hubungan malaikat dan bidadari. Apakah mereka berpasang-pasangan seperti manusia, atau diciptakan untuk sendiri, hanya saja sekali lagi, orang-orang sering berkata bahwa malaikat itu lelaki dan bidadari adalah wanita, dan karena perkataan orang-orang itu aku berkesimpulan; malaikat telah mengabaikan cinta bidadari, ataupun sebaliknya.

“Di sudut-sudut taman negeri keringkerontang, tidak ada lagi pasangan malaikat dan bidadari yang menggambar awan. Mereka duduk sendiri-sendiri memandang matahari atau bulan, menyibukkan diri dengan membersihkan busur dan panah-panah hati cinta orang bumi, sambil menikmati secawan rindu yang mereka peras dari jarak dan temu sejoli-sejoli itu. Selalu begitu, setiap hari,” kakek melanjutkan tanpa aku minta.
Mataku tak lepas dari wajahnya. Sedangkan matanya, seperti teropong, bulat besar memandang jauh entah apa di seberang. Kerutan di sekitar kelopak matanya, tidak menutupi cahaya mata kakek. Ada bias-bias yang muncul. Mungkin karena saat itu langit sedang mempersiapkan pertunjukan andalannya di ufuk barat; senja.

Mendengar lanjutan cerita kakek dan merasai senja seperti sekarang ini, membuat aku kembali teringat pada mantan pacarku. Ia tinggal di seberang. Kemarin sore, aku mengajaknya ke kafe Serasan. Kafe pinggir sungai yang menjadi tempat favorit kami. Aku datang terlebih dahulu dan memilih duduk di kursi paling pojok, yang tepat berdiri di atas sungai. Tempat itu memungkinkan aku dan ia bisa menikmati senja dan segala kehidupannya dengan lebih mempesona. Sayangnya, sore itu ia tidak datang, tanpa kabar. Dan malamnya, selepas isya, ia mengirimkan pesan singkat padaku, menginginkan hubungan kami diakhiri dan tak mau lagi bertemu.

“Dulunya, negeri itu bernama surga, tempat tinggal sempurna untuk cinta dan keabadian.” Telingaku terbakar mendengar cerita kakek, mataku yang tadinya takjub akan cahaya yang memancar dari matanya berubah memicing. Jika surga saja bisa berubah menjadi negeri keringkerontang, kenapa bumi tidak? Tapi tak kupotong dengan tanyaku. Dan, ia terus saja bercerita.

“Hingga suatu ketika, Tuhan menciptakan makhluk bernama manusia, yang kemudian dijatuhkan ke bumi karena melanggar aturan di sana. Sejak saat itu, keadaan berubah perlahan. Malaikat dan bidadari terlalu asik mengikuti perkembangan orang-orang di bawah awan. Menyiasati cinta miliknya untuk orang-orang di bumi, membagikan sesuka hati lalu mengambilnya kembali. Bagi mereka, senyum orang bumi adalah ingkar yang paling dinanti. Bentuk cinta sederhana yang mereka beri untuk keindahan atau penyesalan di masa depan. Mereka memang tidak bisa mengendalikan hati semua orang bumi, dan disitulah letak keseruan permainan ini. Menjodohjodohkan, menjadi trend di negeri atas awan seabad setelah manusia bumi pertama diturunkan.”

“Jadi kita yang ada di bumi hanya mainan bagi mereka di langit?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Betapa sialnya jadi manusia, hatinya tak lebih seperti peliharaan. Padahal patah hati itu begitu menyakitkan. Sebenarnya, aku mulai merasa tersindir oleh cerita kakek. Karena senyumku saat bersamanya dulu, mungkin saja akan berbuah penyesalan. Aku cukup pesimis itu akan tetap menjadi keindahan. Dan, apa mungkin, putusnya hubungan kami, karena penghuni negeri atas awan?

“Aku belum menyelesaikan ceritaku,” kakek protes.

“Lanjutkanlah,” jawabku kecut.

“Istilah itu sendiri mereka dapat dari pasangan bumi, yang seringkali berpikir telah dipertemukan dengan jodohnya di bulan pertama mereka dijadikan korban panah penghuni surga. Ya Tuhan, jika ia memang jodohku, dekatkanlah, jika bukan,maka  jadikanlah ia jodohku. Begitu kira-kira doa yang acapkali memecah tawa penghuni surga. Tawa yang kemudian mencandu telinga penghuninya, membuat mereka menyebarkan cintanya untuk orang bumi dan melupakan cinta di negerinya; untuk dirinya sendiri dan teman seabadi.” Kakek bercerita sambil mempraktikkan seseorang yang tengah berdoa.

Perutku gatal terpingkal mendengar doa itu. Aku mulai bisa tertawa lepas semenjak tadi malam. Kakek benar-benar mengikuti perkembangan anak muda, pikirku.

“Kenapa tertawa? Sudah lupa kau, Nak, pada patah hatimu?”

Aku kembali diam. “Ah, kakek ini,” kataku malu-malu. “Lanjutkan, Kek.”

“Setiap malaikat atau bidadari, bisa mengendalikan lebih dari sepasang hati orang bumi. Ibarat catur, mereka menguasai lebih dari satu pion. Mulai dari raja sampai prajurit, mereka yang pegang kendali.”

Aku kembali berpikir, mesti aku tidak tahu pasti berapa jumlah penghuni negeri keringkerontang, bila satu bisa mengendalikan lebih, tentu banyak waktu yang mereka habiskan untuk hati-hati itu. Dan, sudah pasti, karena permainan ini, teman seabadi malaikat atau bidadari merasa sepi. Di negeriku, permainan hadir untuk mengusir sepi, tapi di sana sebaliknya, justru permainan jodoh-menjodohkan ini adalah trend penyebab sunyi.

Tapi terkadang tidak juga. Aku pernah beberapa kali bertengkar dengannya karena terlalu asik bermainplaystation, atau game-game online. Ia cemburu dan merasa diduakan. Lihatlah, betapa egoisnya wanita. Tak mau dibandingkan satu sama lain tapi merasa diduakan oleh sebuah permainan. Padahal, sejak dulu, fitrah lelaki memanglah bermain, tentu saja selain memimpin. Kupikir tak ada ayah yang sempurna bila tak bisa mengajak anaknya bermain. Tapi tentu tidak seperti malaikat atau bidadari penghuni negeri keringkerontang itu, kami –lelaki bumi, tidak memainkan hati orang lain, apalagi wanita. Setidaknya, itu bukan aku.

“Kau mendengarkan ceritaku?” Kakek memecah lamunanku. Mungkin sejak tadi ia memperhatikan aku dari balik keriputnya. Karena sejak ceritanya mulai menyinggung masalah hati, aku mulai melebarkan pandanganku ke arah sungai kesedihan, sambil berharap, semoga kesedihanku hanyut bersama arusnya.
Aku mengangguk, kakek benarkan letak kopiah putih di kepalanya dan kain sarungnya yang tertiup angin, kemudian kembali melanjutkan kisahnya.

“Setiap malam, kehampaan mengunjungi teman seabadi penghuni negeri keringkerontang, menjinjing riuh masa lalu untuk kembali diputarkan dalam ingatan. Sudut-sudut kafe mulai jarang didatangi, setelah sebagian dari mereka terlalu dalam memainkan permainan ini, pavilion menjadi tempat sakral yang tidak boleh ditinggalkan. Mereka hanya sesekali keluar untuk turun ke bumi, memanah hati penghuninya kemudian kembali untuk mengendalikannya dari dalam sana. Bahkan ada seorang malaikat yang akhirnya tinggal di bumi karena tidak ingin sedetik pun tertinggal dari perkembangan hati yang ia mainkan.”

Lewat telinga, cerita kakek terjebak di kepala, dan berhasil mengundang potret-potret masa laluku ikut serta. Semakin panjang ia bercerita, semakin banyak wajah mantan pacarku berlalulalang bersamanya. Rasa-rasanya ingin aku meminta kakek menghentikan ceritanya, namun aku juga penasaran akan nasib malaikat atau bidadari yang terabaikan di atas sana. Juga, nasib malaikat yang satu ini.

“Ada malaikat yang akhirnya tinggal di bumi?”

“Boleh aku selesaikan lebih dahulu ceritaku?”

Aku jawab pertanyaannya dengan membusurkan pandanganku tepat pada matanya.

“Perubahan itu membuat air mata teman seabadi penghuni negeri keringkerontang yang merasa sepi seringkali jatuh. Tumpah deras, meresap ke dalam awan, tertampung sementara waktu, hingga tak bisa lagi ditahan dan harus dilahirkan. Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi di malam hari. Hampir setiap waktu ada air mata yang tercurah.”

Kakek menghentikan ceritanya sampai di situ. Azan magrib terpaksa mengakhiri cerita kakek. Wajah mantan pacarku dan jumlah penghuni negeri keringkerontang masih bertarung di dalam kepala. Dan wajah cantik itu tetap jadi pemenangnya. Sekali lagi, aku tidak tahu pasti jumlah penghuni negeri keringkerontang, tapi jika itu terjadi selama berabad-abad, mungkin cerita kakek adalah sebab aliran air di sungai kesedihan kota kami.

“Pulanglah. Mandi, dan sholat. Selepas dari surau nanti, kita lanjutkan cerita ini.” Aku mencium tangan Kakek  kemudian ia beranjak dari duduknya dan berjalan menyusuri bantaran sungai menuju surau di dekat jembatan. Di langkah ketiganya ia membalikkan badan dan memanggilku, “Nak, memang benar, ada malaikat yang tinggal di bumi, dan ia menetap di hatimu.”

Kakiku mengakar tanah, tubuhku kaku. Kakek menjauh perlahan tanpa menoleh, bayangannya tinggi bergerak di atas sungai kesedihan kota kami. Aku merasa tak pernah memainkan hati, juga mengawasi cinta orang lain. Atau, apa mungkin cinta kedua orang tuaku?

Kerajaan mantan pacar di kepalaku runtuh. Terkudeta kata-kata kakek.**


Pontianak, 27 Mei 2014

Jumat, 27 Februari 2015

Jumat Bersama Ghyna Amanda


Hai! Jumpa lagi di sini. Jumat, 20 Februari 2015 lalu, kami mengadakan bincang santai bersama penulis. Kali ini giliran Ghyna Amanda. Tahu kan, dia penulis beberapa novel  yang diantaranya adalah: Haru no Tabi, Heartsease, Matryoshka: Kapan Kau kembali, Yulya?,  Nias: Penyelamat Berkalung Matahari. Yang  terbaru  adalah Hikikomori Chan, dan jika ingin tahu lebih banyak tentang si kakak yang imut bin tsakep ini bisa di-stalk karya-karyanya di  sini.  
Nah, yuk, mari simak cuplikan obrolan kami dengannya.
Mbak, gimana sih cara buat prolog atau paragraf-paragraf pembuka bab yang menarik?
Hoo oke... yang pertama ya, cara buat prolog (pembuka) yang menarik. Saya sendiri sebenernya nggak punya cara khusus, tapi mungkin kalau saya selalu membuat pembuka yang minimal bisa bikin saya nyaman buat memulai sebuah cerita. Buat saya yang paling penting gimana kita nyaman dulu, nah... habis itu bagaimana bikin jadi menarik. Pertama kita bisa munculin masalah utama di pembuka cerita kita, jadi langsung ke klimaks setelah itu kembali ke awal cerita. Biasalah ini cara buat mancing rasa penasaran.Tapi kadang susah juga kalau pake cara itu... ya udah, setidaknya di prolog atau pembuka cerita, kita sisipin apa sih yang jadi masalah utama dari tokoh utama di cerita itu. Saya sendiri selalu beranggapan kalau masalah dari sebuah cerita setidaknya udah diketahui dari 1-3 bab pertama... istilahnya jangan ngelantur terlalu banyak ^^ ya. Oke, mungkin yang pertama itu, ya.
Jika menulis sebaiknya fokus di satu genre atau ke genre apa pun?
Hmm, tergantung, sih. Tapi kalau saya sendiri tipe yang nggak betah buat fokus di satu genre. Tiap penulis pasti punya tujuan menulis yang berbeda, nah sebaiknya disesuaikan saja dengan visi menulisnya ingin apa, sih? Kalau ingin (misalnya) jadi pejuang cinta, mungkin bisa fokus di genre romance saja dan mengaji berbagai sisi romansa buat ceritanya. Sementara mungkin ada juga yang tipe kayak saya, yang sukanya tantangan... jadi semua genre ingin dicoba.
Adakah semacam rumus untuk bikin plot bagus?
Saya yakin nggak ada ya karena making story not science, maksudnya kita menulis itu kayak bikin karya seni, bukan hitungan pasti. Tapi ada cara buat bikin plot yang menarik dan nggak terkesan mainstream...
Pertama open mind, ada banyak hal yang nggak semua orang tahu, tapi mungkin bisa kita tahu. Intinya perluas wawasan, temukan hal menarik dari hal-hal lain yang mungkin sebelumnya nggak menarik.
Kedua creative, bikin sesuatu yang berbeda. Jangan mau sama. Kalau ada yang udah bikin cerita A, bukan berarti kita nggak boleh bikin cerita yang sama, tapi coba kembangin dengan kreativitas. Kalau kata orang sih: steal like an artist.
Ketiga konsisten. Ini kunci penting buat menulis apapun. Konsisten sama prinsip kita, konsisten sama kreativitas kita, dan pede aja.




Siapa inspirasi/penulis favorit Teh Gyhna dalam menulis? Apa alasannya?
Penulis favorit saya itu Jodie Picoult, tapi saya banyak terinspirasi dari karya mangaka bernama Yumeka Sumomo/Sahara Mizu dan Clamp.
Bagaimana proses belajar Teh Ghyna dari nol sampai seperti sekarang? Mungkin bisa saya contoh, agar bisa menjadi penulis produktif.
Saya sendiri lupa, tapi pastinya dimulai dari kesukaan membaca ya, terus punya keinginan buat menulis sesuatu yang seperti itu (yang dibaca). Naskah pertama yang saya tulis itu kena banyak pengaruh dari novel-novel yang saya baca sebelumnya. Sayang di situ saya masih meniru, tapi dari situ saya belajar nulis dan ngembangin cerita juga.
Sekarang juga saya masih suka membaca buat cari inspirasi entah gaya tulisan atau gaya cerita. Tapi yang saya contoh sekarang cuma sekadar konsepnya aja, selanjutnya biar kreativitas yang bekerja. Tips buat penulis pemula... jangan bosan menulis, jangan bosan membaca. Lebih penting, jangan berhenti dan konsisten. Apapun cerita yang kita tulis, coba selesaikan.  
Apa yang membuat anda memutuskan menjadi penulis? Kalau anda lebih suka menulis yang sesuai selera hati apa mengikuti trend pasar?
 Wah... yang memutuskan saya untuk menjadi seorang penulis sebenarnya karena saya nggak sanggup buat jadi komikus, haha ^^ . Menulis memang tidak jadi lebih mudah kalau dibandingkan menggambar, tapi mungkin membuat saya lebih nyaman ketika mengeksplorasi universe dalam dunia tulisan saya.
Yang kedua, saya sebenarnya lebih suka menulis sesuai keinginan aja. I write what I want to write. Makanya saya juga lebih suka nulis lintas genre karena nulisnya suka-suka lagi ingin nulis apa.  
Bagaimana proses menemukan ide untuk novel Nias? Bagaimana riset dan berapa lama pembuatannya?
Soal novel Nias, ya... idenya dari peristiwa gempa Nias tahun 2005, selebihnya di novel itu saya ingin ngangkat tema family romance dengan masukin tokoh-tokoh yang unik ^^. Riset novel Nias sendiri cukup lama, ya... sekitar 2 bulan karena saya sendiri belum perna ke sana dan nggak tau apa-apa juga soal Nias.
Proses risetnya sederhana, sih... kebanyakan baca dari internet soal budaya Nias, apa aja yang menarik di sana, ada juga beberapa literarur cerita daerah, sama yang paling penting sih saya baca juga blog2 traveler yang berkunjung ke Nias. Habis semuanya lengkap, baru deh ditulis.
Kapan biasanya bikin prolog? Sebelum seluruh cerita jadi, di tengah2 atau setelah semua bab selesai?
Kalau soal kapan bikin prolog... biasanya sih dari awal kalau udah niat bikin prolog jadi dibikin duluan. Tapi kadang ada naskah yang prolognya baru dirasa perlu ada pas naskahnya udah jadi. Makanya nggak tentu juga.
Teh Ghyn, apa ada hubungannya antara kejombloan dan produktivitasmu? - pertanyaan titipan dari mamang somay.
Kalau kejombloan nggak ada, Kang Reza (Reza Nufa,  red. KF10)... tapi kalau kegalauan ada.
Mbak Ghyna paling suka banget baca novel genre apa? Sama sekarang kesibukannya apa aja selain bikin nulis dan bikin novel?  
Saya suka novel genre family-romance... kayak buku-bukunya Jodie Picoult. Kalau sekarang kesibukannya ngantor, masih nulis juga sih di kantor, cuma bukan bikin novel hehe.
Teh, boleh tahu gak satu buku terbaik yang pernah kamu baca?
Wah... apa ya... buku fiksi, kan? Ada banyak sih. Rata-rata bukunya Jodie Picoult.  Kayak Perfect Match atau Handle with Care. Tapi buku yang bikin mindblowing itu Norwegian Wood-nya Haruki Murakami, not the best tapi saya ngerasa wow sama buku ini.   
Dari sekian banyak buku yang Teh Ghyna tulis, rata-rata berapa lama waktunya?
Rata-rata  2-3 minggu, tapi kadang kalau mager banget bisa berbulan2.  Paling lama... 2 bulan.  Jadi, 2-3 minggu itu draft kasar, belum editing.  Dan full nulis doang, nggak sama riset dan galauin plot. Kalau dihitung sama galaunya bisa berbulan2 mungkin ya...
Selama 2-3 minggu itu tiap hari dan ada jadwalnya.  Jadi misalnya target sehari nulis 5 halaman (apapun yang terjadi). Tapi kadang ngga nyampe 5, cuma 3 misalnya... nah yang 2 lagi jadiin utang buat dibayar besoknya. Kayak gitu sih kalau saya. Disiplin dan konsisten.
Dari satu buku ke buku yang lain ada jeda nggak? Apa begitu selesai satu buku langsung nulis buku baru?
Pasti ada jeda kok, 1-2 bulan jedanya (kalau lagi rajin) atau berbulan-bulan (kalau lagi males)
Kak, ajarin mantra supaya bisa konsisten menulis dong?
Haha mantra... kalau mantra saya nggak tau, tapi kalau usaha ada... jangan berhenti menulis.  Kan seperti dendam dan rindu, target nulis harus dibayar tuntas.
Ada hukuman atau hadiah bagi diri sendiri?
Ada... kalau saya reward buat diri sendiri misalnya boleh beli cheesecake cizz atau beli es krim. Kalau hukuman nggak boleh baca komik sampai naskah selesai... yang sederhana gitu.
Bagi tips bikin/nyari judul yang caem, Senpay…
Wah, saya sebenernya tipe orang yang sense of name-nya buruk banget... kalau nyari judul biasanya nggak mau susah. Biasanya sih nyari satu kata yang paling cocok sama naskahnya.  Udah gitu aja huhu...
Kebanyakan judul novel saya kan cuma 1 kata, kayak Hikikomori-chan diambil karena ceritanya soal cewek Hikikomori. Yah, sesederhana itu.
Teh, dengan prestasi seperti sekarang, pernah ada niat gak buat bikin suatu wadah kepenulisan untuk berbagi ilmu, atau semacamnya?
 Wah ingin sih... tapi mungkin dengan cara yang berbeda, cuma masih ngulik gimana enaknya... jadi sekarang cuma bisa bantu2 (kalau bisa).
Pernah ada distraction dalam menulis. Semacam  game?
Haha pasti dong... distraksi saya itu komik, anime, drama series, game (terutama), sama ajakan jalan-jalan. Saya suka All CLAMP universe,  tapi sekarang lagi suka Digimon #eah.  Ngilangin distraksi harus fokus, tapi paling utama sih matiin koneksi internet.  
Bisa diceritain rutinitasnya dlm menulis? Jadwal khusus misalnya?
Kalau dulu pas lagi nganggur... biasanya sebelum nulis saya baca buku dulu satu jam-an.  Terus ada jadwal nulis siang dan malam. Siang dari jam 1-4, malam jam 8-11. Tapi setelah ngantor cuma bisa jam malam aja... baca bukunya kl senggang di kantor.
Pernah terima surat penolakan dari redaksi? Udah berapa kali, Teh?
Pernah... sebenernya kalau penolakan langsung udah tiga kali tapi kalau kalah lomba (karena kebanyakan ikut lomba) mungkin belasan ^^.  
Kalau baca sebelum nulis, apa yang kita baca ndak takut berpengaruh ke yang mau ditulis teh?
Sebenernua iya pasti berpengaruh sih, tapi kata saya tadi steal like an artist... kita tiru gayanya dan coba dikembangkan dengan cara kita. Kadang saya sih baca dulu buku buat mancing feel nulis itu sendiri.
Teteh menulis sejak kapan?  
Hm... saya nulis sejak umur 9 tahun ^^ tapi bukan tulisa serius, cuma cerpen2 ala majalah bobo
Apa Teteh menggunakan musik saat menulis?  
Oh musik manjur banget... Sampai sekarang musik selalu jadi moodbooster pas nulis

Oke, Teh, Mbak, Kak Ghyna Amanda, terimakasih ya atas bagi ilmunya. Semoga tambah sukses!

Jumat, 06 Februari 2015

[REVIEW] Jumat Bersama Pia Devina

- Kapan dan dimana waktu yang paling pas buat Kakak menulis? Kenapa?

Aku paling sering nulis di rumah. Nggak harus nemu tempat khusus sih buat nulis. Yang penting ada meja dan kursi. Oh, juga headset! Aku paling nggak bisa nulis kalo kupingnya nggak divakum sama musik.
Jadi udah sepaket: laptop, naskah, musik. Hehe... Kalo kapannya, biasanya aku nulis malem. Atau nggak subuh sebelum pergi kerja. Kalo hari libur, enak banget itu bisa lebih luang waktu nulisnya. Tapi intinya sih punya target, misal perhari ada berapa lembar atau kata yang pengen ditulis. Aku bikin target nulisku di microsoft excel.

- Di Goodreads banyak yang bilang kalau novel Love Lock itu sangat detail deskripsi tempatnya. Bagaimanakah cara membuat setting tempat sedetail itu? Apakah Kakak pernah mengunjungi tempat itu sebelumnya? Jika belum, riset seperti apakah yang Kakak lakukan hingga bisa menghasikkan setting seperti itu?

Dulu aku belum pernah ke Jerman. Bahkan nama Cologne pun belum pernah denger kecuali nama pengharum badan. Terus pas lagi di kantor tiba-tiba pengen nulis setting Eropa dan satu sungai besar yg ada di sana.Aku googling, nemu sungai Rhein, yang juga melewati Jerman.

Aku baru inget, ada temen yang lagi tinggal di Hamburg selama beberapa tahun terakhir. Terus setelah bikin plot, aku memutuskan milih Cologne. Finally, aku minta tolong temenku, barangkali ada yg pernah tinggal di Cologne.
Thank God... ada!

Jadi aku riset by data internet (bukan cuma wiki, aku baca-baca artikel orang Indonesia yang pernah ke sana), liat video-video, trus panorama apa gitu, yang bisa memperlihatkan suatu tempat dari berbagai sudut. Pokonya ngubek-ngubek internet dan bukan hanya baca tulisan.

Plus, nanya-nanya narasumber tadi. Sama halnya dgn salah satu novelku di Diva yang Carrying Your Heart, aku belum pernah ke Rotterdam, Belanda. Tapi dengan cara riset yang kurang lebih sama, aku ngegalinya kaya gitu.

- Menurut anda, seberapa penting bakat yang dimiliki untuk menjadi penulis hebat? Apakah cukup hanya dengan kemauan?

In my opinion, bakat gak penting2 amat, yg penting niat pgn nulis, mencoba belajar nulis, dan nulis itu sendiri. Percuma punya bakat tp klo gak pny tekad utk menghasilkan karyaĆ®– oh ya, ada senior penulis yg bilang: pekerjaan pertama penulis itu membaca. Yg kedua, baru menulis.

- Pernahkah Kakak berada di titik jenuh saat menulis? Lalu apa yang Kakak lakukan?

Lebih ke “cape” nulis karena diberondong kerjaan atau aktivitas lain. Karena pada dasarnya aku seneng nulis, jd klopun stress karena tulisan, aku nyoba 'maju' lagi.

- Bagi tips menulis yang produktif bagi penulis pemula!

Bikin target menulis untuk diri sendiri. Kalo bisa, bikin secara tertulis. Itu menantang kamu buat merampungkan tulisanmu. Nggak usah langsung muluk-muluk beres satu novel 1-2 hari, yang penting tiap hari ada yg ditulis, even hanya satu lembar.
Ini aku liatin “papan target”-ku (judul novel dan target tanggal nulisnya aku hapus dulu ya!).
Papan target milik Pia Devina

- Papan targetnya keren, bolehkah aku nyontek?

Dulu itu aku dapet dari salah satu penerbit yang ngadain lomba di 2012. Aku mikir, oh iya, emang butuh target tertulis. Jadi aku buat dan modif sendiri. Silakan klo mau dijadiin contoh/template.

- Kan biasanya penulis itu membuat outline, lalu suatu saat ada ide lain yang bermunculan. Apakah Kakak akan mengubah outline yang ada atau lanjut menulis sesuai outline?

Nggak langsung diubah. Aku suka pertimbangin dulu, apa ide baru lebih nendang atau justru mending yang pertama? Nah klo aku pake ide yang sebelumnya, ide baru nggak lantas aku buang. Aku simpen di paliiiing bawah outline dulu, karena barangkali ntar kepake di bab yang lain.
Kalo ide baru emang dirasa lebih klik, ide lama aku simpen juga, jangan dibuang juga.

- Lalu kalau misalnya outline yang sudah dibuat untuk dua bab, ternyata jumlah halamannya cuma sedikit dan cuma cukup untuk satu bab, Kakak menyiasatinya dengan cara apa?

Nyari ide untuk jadi benang merah antara bab yang sedikit itu dengan bab berikutnya. Atau, tarik aja bab berikutnya. Misal, di outline bab 3, jadi dibikin bab 2. Intinya adalah, outline itu bukan rantai mati, tapi cara biar kita tetep di “track” tulisan kita. Nggak apa-apa kok modif outline selama msih di “jalurnya” tadi.

- Ngomong-ngomong tentang benang merah, apa di setiap bab itu hrs dibuat benang merah? Berarti konfliknya makin banyak dong, Kak?

Menurutku iya... tapi nggak selalu: bab 1 benang merahnya di bab 2. Bisa aja bab 1 jadi benang merah bab 5 dst. Benang merah nggak selamanya nambah konflik, dia justru jadi “clue” buat twist cerita kamu nantinya.

- Kak Pia bagi tips menulis novel dengan alur maju mundur dong. Novel Love Lock alurnya kan maju mundur, tapi ceritanya nggak bikin bingung apalagi ngebosenin yang baca!

Hal penting yang harus disiapkan buat nulis maju mundur adalah: KALENDER. Itu dalam hal alur maju mundur pake tahun ya. Aku punya kalender dari tahun 1980-an sampe >2015
Itu bisa didownload di internet. Dengan kalender, kita bisa lebih “jujur” kepada pembaca tentang kapan hal itu terjadi. Untuk masalah maju mundur, pada dasarnya aku emang suka nulis gitu karena bisa lebih menghadirkan twist.

Balik lagi ke masalah outline. Misal di bab 3 ada satu kejadian yang bikin pembaca nanya: laaah ini kenapa? Kamu nggak harus jawab di bab 3 atau 4 itu. Tapi bisa di bab 1, atau bahkan bab 9. Intinya, biar pembaca menduga-duga. Dan hal penting dalam flashback: perhatikan kondisi dan lingkungan saat itu.

Contoh di Love Lock, ada momen tokoh-tokohnya mengunjungi Cologne Zoo di tahun-tahun sekarang dan tokoh-tokoh lain di > 20 tahun yang lalu. Jelas, kondisi Zoo-nya berbeda, detailnya pasti berbeda juga, kan?

- Kenapa Kakak menulis? Alasannya apa?

Nulis karena suka nulis, juga karena pengen punya tulisan yang nangkring di toko buku. Mimpi itu pertama kebangun di tahun 2004-an, dan baru tercapai di 2013

- Kapan pertama kali menulis? Waktu itu nulis apa?

Awalnya nulis novel itu pas SMA *eyaaa ketauan angkatan berapa* hahahahaha. Pas SMP SMA seneng baca novel gitu, tergerak pengen nulis. Hmm zaman-zamannya Cintapuccino, Dealova, pokonya mereka-mereka awal nongol. Awalnya nulis cerpen doang, Tapi kemudian nyoba nulis novel. Daaan novel pertamaku yang beres ditulis adalah (Un)broken Wings dgn judul awal yang... udah ah, gak tega nyebutnya, hahaha.

Novel kedua, baru beres ditulis awal-awal kuliah.  Novel ketiga, awal-awal kuliah dan nggak beres, hahaha.
Sejak kuliah, aku jadi males nulis. Mungkin karena naskah pertamaku ditolak ya, jadi patah hati. Terus, dulu info-info kepenulisan nggak kayak sekarang. Jadi, aku sempet vakum nulis lamaaaa.... baru niat nulis serius lagi dan belajar nulis dari nol di 2012.

- Kadang-kadang kan kita suka ngerasa buntu, nggak dapat ide, apa yang Kakak lakuin biar fresh lagi?

Kalo buntu? Duduk depan laptop, hadapi naskah kamu. Kalo masih mentok, nyalain lagu, atau tonton film, atau randomly googling apapun. Biasanya suka ada yang bisa dijadiin ide.

Kalo buntu banget, jalan-jalan dulu lah bentar, refreshing! Tengok kanan kiri, pasti ada yang bisa dijadiin ide.

- Menghadirkan perasaan dalam tiap tulisan itu gimana, Kak? Maksudnya, yeah, misal adegan romance, tapi yang nulis itu mengaku mati rasa dengan hal-hal yang berbau romantis . Nah, gimana solusinya bagi penulis malang seperti itu, Kak? #nomention

Ketika nulis, tinggalkan jati diri kamu sebagai penulis.  Ketika bikin cerita, kamu bukan kamu. Kamu adalah tokoh dalam tulisan kamu. Bayangin fisik tokoh-tokoh kamu sambil kamu nulis, bayangin kamu ada di sana, ngerasain apa yang dirasain tokoh. Minimal, kamu jadi “sutradara” langsung dalam film imajiner yang kamu buat.

Jadi, jangan bawa-bawa kondisi personal ke tokoh. Kalo kamu lagi bete beneran di dunia nyata, masa iya betenya dibawa-bawa ke adegan happy di cerita (misalnya).

Contoh yang aku rasain (misal di novel Love Lock). Menjelang ending, ketika Mario “ngejar” Rhinea dan mencoba meng-clear-kan masalah, aku memposisikan jadi Rhinea. Aku marah, tapi aku kangen dan pengen dia ada di sisi aku. Aku kecewa, tapi aku nggak mau nunjukin itu di depan Mario. Dan pada akhirnya, ketika dia meletakkan jari di telapak tangan aku (Rhinea), aku merinding beneran. Believe it or not, aku menitikkan air mata bahagia saat itu, walaupun mungkin nggak semua pembaca merasakan itu. Hehehehe... At least, kamu sebagai penulis, mencoba menghadirkan emosi dalam cerita kamu.

Oh, dan yang paling aku inget, aku nulis adegan itu sambil denger Silver Lining-nya Jessie J. Dulu rasanya paaass banget. Aku sampai senyum-senyum sendiri pada akhirnya. Lagu itu berbekas banget sampai sekarang. Jadi, balik lagi ke penulisnya. Mau nggak ninggalin “jati diri” buat jadi tokoh rekayasa kita?

- Kak, sewaktu awal-awal menulis pernah nggak merasa minder dengan tulisan sendiri? Gimana solusinya supaya bisa ngatasi nggak pede dengan tulisan sendiri?

Pernah BANGET dong! Pas aku minta temen-temenku baca, duh waswas minta ampun! Tapi justru, dengan dikomentarin mereka, bisa jadi masukan buat perbaikan tulisan kita biar lebih baik. Pada akhirnya, jangan jadi minder, tapi jadi “suntikan” buat kamunya.

Jangankan dulu, sekarang aja masih suka minder. Tapi klo mikir lagi, masa iya minder mulu. Toh kita udah nyoba melakukan sebaik yang kita mampu. Natr klo udah di tangan editor naskahnya, mereka akan ngasih masukan dan revisi juga.

Setelah karya kita terbit di pasar, terus masih ada yang nggak suka sama novel kita? Syukuri aja, mereka mengapresiasi karya kita. Dari komen-komen pembaca, jadikan pembelajaran buat nulis lebih bagus ke depannya.

Intinya adalah: PAKSAIN JALAN. Sejelek apapun draft tulisan kamu, kamu harus PAKSAIN JALAN terus! Yang nentuin kita bisa lanjutin naskah kita atau nggak, adalah kita sendiri. Bukan mood atau keadaan. Istirahat boleh, buat narik napas. Tapi jangan kebablasan dan jangan nyari “kambing hitam” sebagai alasan kamu nggak lanjut nulis. Mulai dengan paksain nulis disiplin.. Misal, sehari selembar. Kalo nggak bisa nulis hari ini, besok jadi 2 lembar. Nggak bisa besok? Besoknya jadi 3 lembar, dst. Biar kamu punya tanggung jawab sama naskah kamu sendiri.

Jangan cuma kamu yang menilai. Kasih kesempatan orang lain buat menilai juga. Kalo cuma kita yang baca, yang nilai, sampai lebaran taun 4000an juga kita ngadepin naskah, rasanya ada yg kuraaang muluu....

- Gimana cara Kakak buat ngatur waktu antara kerjaan sama bikin novel yang dalam dua tahun bisa ngelahirin 9 novel?

Bikin target tulisan. Pinter-pinter nyari waktu untuk nulis. Misal, setelah subuh, sepulang kerja, tengah malam (setelah istirahat dulu), weekend, pas libur, dll.
Intinya: tergantung segimana niat kamu buat meluangkan waktu untuk nulis. JANGAN KAMBING HITAMKAN “SIBUK” SEBAGAI ALASAN.

- Pernah nggak sih ngerasa down, males, capek waktu nulis novel? Kenapa? Cara ngatasinnya gimana? :D

Pernahnya “capek” karena fisik lagi nggak memungkinkan. Caranya mengatasi, tadi udah dibahas di atas.
Buat yg masih suka down atau males, segera bayangkan gimana seandainya buku kamu nangkring di toko buku seluruh Indonesia. Semua itu nggak akan terjadi kalo naskah kamu belum rampung.

- Bagaimana Kakak bisa demikian produktif dalam menulis? Bagaimana cara membagi waktu? Do you still have a life, kan, selain menulis?

Balik lagi ke masalah: buatlah target tulisan.  Iya, aku punya aktivitas lain selain menulis. Kerja senin sampai jumat, jam 8 pagi-5 sore. Jadi ibu rumah tangga untuk suami aku. Kadang siaran radio. Jalan-jalan, nengokin keluarga, dll. Tapi prinsipnya, ya nulis jalan terus. Nulis bukan kewajiban, tapi kebutuhan karena aku memang suka nulis. That's why aku selalu nyoba curi2 waktu buat nulis.

- Pernah nggak sampai menggarap dua judul sekaligus? Kalau ya, bagaimana cara 'memecah diri' dalam karakter-karakter (setelah masuk ke karakter utama satu, pindah ke yang lainnya)?

Ngegarap dua naskah sekaligus: pernah banget. Biasanya ngasih jeda nulis. Misal dalam sehari aku target nulis bab 2 naskah A dan bab 5 naskah B. Pagi-pagi aku nulis naskah A. Ntar malem naskah B. Biar nggak kecampur emosinya.

- Kak, mending memilih menulis sebagai satu-satunya profesi atau didampingi juga sama profesi lain selain menulis?

Untuk hal itu, tergantung masing-masing individu. Kalau aku, basic pendidikanku di farmasi, sama sekali nggak ada hubungannya sama nulis. Dan, aku masih punya keinginan untuk bekerja di bidang sesuai pendidikan itu. Nulis aku lanjutin juga, karena itu passion terbesarku.

Yang perlu dipertimbangkan, menulis nggak sekonyong-konyong bikin seseorang “kaya-raya” (kecuali penulis se-best seller Andrea Hirata atau J.K. Rowling. Tapi nggak bisa dipungkiri, seseorang juga bisa hidup dari penghasilan menulis. Intinya, balik lagi ke niat kamu, nulis itu untuk apa.

-  Kak, dengan aktivitas yang segitu banyak, menulis yang begitu teratur, Kakak tidur tiap malam berapa jam? Biar nampar buat penulis pemula yang suka tergoda kantuk.

Nggak tentu juga sih tidur berapa jam. Tapi diusahakan tidur “sehat”, walaupun kadang-kadang teler ngantuk pas ke kantor. Seenggaknya bisa tidur 4-6 jam sehari.

- Saran buat kami sebagai pemula?

Pesan: Semangat buat disiplin pada diri sendiri. Nulis yg rutin. Baca yang banyak.

- Bagaimana caranya membuat narasi atau deskripsi yang enak dibaca?

Banyak baca karya orang lain, rajin-rajin buka KBBI untuk memperkaya diksi. Untuk narasi atau deskripsi yang enak juga harus dengan banyak-banyak latihan.

- Biasanya sering baca novel dari dalam atau luar negeri? Dan penulis favorit Kakak siapa?

Aku baca novel dalam dan luar negeri. Penulis favorit, banyaaak. Contohnya, Ika Natassa, Mira W., Karla M. Nashar, Pramoedya A.T, Windry R., dll. Trus Sophie Kinsella, Gayle Forman, Stephenie Meyer, Linda Howard, dll. Aku kalo baca nggak selalu “terpaku” sama siapa penulisnya. Biasanya aku nyari tau tentang buku yang bagus dibaca apa, atau misalnya rekomendasi Goodreads (dalam atau luar negeri).

- Lagu yang biasa diputar dalam menulis apa aja?

Kadang aku nulis ditemenin musik instrumen. Atau lagu-lagu umum juga suka. Randomly aja yang muncul di music player. Tapi sering juga aku googling lagu yang pas sama cerita. Misal, lagi nulis bab tentang kerinduan, aku nyari tau kira-kira lagu yang klik apa. Contoh kayak di ceritaku sebelumnya, di salah satu adegan Love Lock, aku puter berkali-kali.